Jejak Sejarah dalam Mitologi, Legenda, Dongeng, Folklor, Upacara dan Lagu Daerah

Selain benda benda material, peninggalan masa prasejarah pun dapat berupa non-material. Peninggalan budaya yang bersifat nonmateri ini misalnya pandangan dunia atau falsafah hidup, nilai atau norma (value), dan cita-cita hidup.

Benda material merupakan cerminan nyata dari pandangan dunia, cita-cita, nilai, serta falsafah ini. Melihat benda benda peninggalan yang material tak lain adalah upaya untuk merasakan cara pandang mereka terhadap lingkungan sekitar, orang lain, dan diri sendiri.

Dalam memelihara dan mewariskan tradisi kebudayaannya, selain menggunakan benda benda kebudayaan, masyarakat praaksara di Nusantara menggunakan cara lisan. Proses pelanggengan kebudayan dengan cara lisan ini, salah satunya, melalui tradisi dongeng.

Dongeng ini dapat disampaikan melalui jalur keluarga atau jalur sosial yang lebih luas, yakni masyarakat.

Melalui dongeng inilah para peneliti dapat melacak jejak jejak sejarah. Selain melalui dongeng, jejak jejak sejarah ini dapat kita temukan pada upacara ritual, lagu lagu daerah, permainan wayang, dan lain sebagainya.

1. Legenda

Jejak Sejarah dalam Mitologi, Legenda, Dongeng, Folklor, Upacara dan Lagu Di Berbagai Daerah

Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu yang benar benar terjadi. Oleh karena itu, legenda seringkali dipandang sebagai ”sejarah” kolektif (folkstory).

Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut telah mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan kisah aslinya.

Menurut Danandaja (2002) legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang.

Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu :

a. Legenda Keagamaan (religious legends)

Legenda keagamaan adalah legenda orang orang yang dianggap suci atau saleh. Karya semacam itu termasuk folklor karena versi asalnya masih tetap hidup di kalangan masyarakat sebagai tradisi lisan.

Di Jawa hagiografi menceritakan riwayat hidup para wali penyebar Islam pada masa yang paling awal. Salah satu contohnya adalah legenda Wali Sembilan (Wali Songo) mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

Selain sembilan wali tersebut, di Jawa masih banyak wali wali lain. Legenda tentang mereka mudah dikenali sebab makam makamnya diziarahi pada peringatan kematiannya (haul) yang disebut keramat atau punden.

Para juru kunci itu pada umumnya, dapat menceritakan legenda orang sucinya. D.A. Rinkes dalam bukunya berjudul De Heiligen van Java (Orang-orang Saleh dari Jawa) menyebutkan beberapa wali lain di antaranya: Syeh Ab-dul Muhyi, Syeh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang, dan Pangeran Panggung, Syeck Abdul Qodir Jaelani, dan lain-lain.

b. Legenda Perseorangan (personal legends)

Legenda ini adalah cerita mengenai tokoh tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar benar pernah terjadi.

Contoh legenda ini misalnya tokoh Panji di Jawa Timur. Menurut legenda Panji adalah seorang putra Kerajaan Kuripan (Singhasari) di Jawa Timur. Dia senantiasa kehilangan istrinya. Cerita tentang tokoh Panji selalu bertemakan perihal pencarian istrinya yang telah menyatu atau menjelma menjadi wanita lain.

Contoh lain adalah cerita Jayaprana, Calon Arang dan sebagainya.

c. Legenda Setempat (local legends)

Legenda ini adalah legenda yang ceritanya berhubungan erat dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit atau berjurang, dan sebagainya.

Legenda setempat, yang erat hubungan dengan suatu tempat, sepertiLegenda Sangkuriang (tentang Gunung Tangkuban Perahu), legenda asal mula nama Rawa Pening Jawa Tengah, Rara Jonggrang dan sebagainya.

d. Legenda Alam Gaib (supernatural legends)

Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran ”takhayul” atau kepercayaan rakyat.

Contoh legenda ini yaitu kepercayan terhadap adanya hantu, peri, gendruwo, sundel bolong serta nyi blorong.

Legenda merupakan cerita rakyat yang memiliki cirri ciri, yaitu sebagaiberikut.

1) Oleh yang empunya cerita dianggap sebagai suatu kejadian yang sungguh sungguh pernah terjadi.

2) Bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Tokoh utama dalam legenda adalah manusia.

3) “Sejarah” kolektif, maksudnya sejarah yang banyak mengalami distorsi karena seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya.

4) Bersifat migration yakni dapat berpindah pindah, sehingga dikenal luasdi daerah daerah yang berbeda.

5)Bersifat siklus, yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau kejadian tertentu, misalnya di Jawa legenda legenda mengenai Panji.

2. Folklor

Jejak Sejarah dalam Mitologi, Legenda, Dongeng, Folklor, Upacara dan Lagu Di Berbagai Daerah

Folklor adalah adat istiadat tradisonal dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, dan tidak dibukukan merupakan kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun.

Berdasarkan asal katanya, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memiliki cirri ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok kelompok lainnya.

Ciri ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama.

Menurut Alan Dundes kata berarti sekelompok orang yang memiliki cirri ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya.

James Dananjaya (seorang ahli folklor) menyebutkan sembilan ciri folklore, yaitu sebagai berikut.

a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

b. Tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yangcukup lama (paling sedikit dua generasi).

c. Ada (exist) dalam versi versi bahkan varian varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, folklore dengan mudah dapat mengalami perubahan.

Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

d. Anonim, yaitu penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.

e. Mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya, selalu menggunakan kata kata klise seperti “bulan empat belas hari”untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan ungkapan tradisional, ulangan ulangan, dan kalimat kalimat atau kata kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti “sohibul hikayat... dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita... demikianlah konon”.

f. Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.

g. Pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian lisan.

Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai berikut:

a. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan angan suatu kolektif.

b. Sebagai alat pengesahan pranata pranata dan lembaga lembaga kebudayaan.

c. Sebagai alat pendidik anak.

d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Dalam mempelajari kebudayaan (culture) kita mengenal adanya tujuh unsur kebudayaan universal yang meliputi sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi.

Menurut Koentjaraningrat setiap unsur kebudayaan universal tersebut mempunyai tiga wujud, yaitu:

(a) wujud sistem budaya, berupa gagasan, kepercayaan, nilai-nilai, norma, ilmu pengetahuan, dan sebagainya;
(b) wujud sistem sosial, berupa tindakan sosial, perilaku yang berpola seperti upacara, kebiasaan, tata cara dan sebagai-nya;
(c) wujud kebudayaan fisik.

Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu :

a. Folklor Lisan


Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:
(1) bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;

(2) ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;

(3) pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka teki;

(4) sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;

(5) cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale),seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;

(6) nyanyian rakyat, seperti “Jali Jali” dari Betawi.

b. Folklor sebagian Lisan

Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:
(1) kepercayaan dan takhayul;

(2) permainan dan hiburan rakyat setempat;

(3) teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;

(4) tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;

(5) adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;

(6) upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;

(7) pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

c. Folklor Bukan Lisan

Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:

(1) arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua

(2) seni kerajinan tangan tradisional,

(3) pakaian tradisional;

(4) obat-obatan rakyat;

(5) alat-alat musik tradisional;

(6) peralatan dan senjata yang khas tradisional;

(7) makanan dan minuman khas daerah.

3. Dongeng

Jejak Sejarah dalam Mitologi, Legenda, Dongeng, Folklor, Upacara dan Lagu Di Berbagai Daerah

Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Danandjaja mengatakan bahwa dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi

Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran moral atau bahkan sindiran.

Dongeng juga memiliki kesamaan unsur-unsur cerita dengan daerah-daerah lain. Cerita Cinderella misalnya dalam versi Indonesia juga dikenal dengan ”Bawang Merah dan Bawang Putih”, ”Si Melati dan Si Kecubung”, dan ”I Kesuna Ian I Bawang” (di Bali).

Dongeng memiliki begitu banyak jenis, menurut Anti Aarne dan Stith Thompson dalam Danandjaja (2002) yang berjudul The Types of the Folktale, dongeng terbagi ke dalam empat golongan besar, yaitu:

1. Dongeng binatang (animal tales),
2. Dongeng biasa (ordinary tales),
3. Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes),
4. Dongeng berumus (formula tales).

4. Upacara Upacara Adat Istiadat

Jejak Sejarah dalam Mitologi, Legenda, Dongeng, Folklor, Upacara dan Lagu Di Berbagai Daerah

Upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun temurun yang berlaku di suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara labuhan, upacaracamas pusaka dan sebagainya.

Upacara adat yang dilakukan di daerah, sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah. Mengapa muncul upacara, ke manaarah upacara, bagaimana prosesinya dan perlengkapannya apa saja? Masih adakah upacara adat di daerah sekitar Anda?

5. Lagu 

Jejak Sejarah dalam Mitologi, Legenda, Dongeng, Folklor, Upacara dan Lagu Di Berbagai Daerah

Lagu adalah ragam irama suara yang berirama atau nyanyian. Setiap daerah memiliki lagu daerah sendiri sendiri, misalnya Soleram (Riau), Sue Ora Jamu, Rujak Ulek, Bengawan Solo (Jawa), Potong Bebek (Nusa Tenggara Timur), dan O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara).

Untaian syair yang dilagukan yang ada diberbagai daerah, demikian juga memiliki sejarah tersendiri, siapa pengarangnya atau penciptanya pada saatnya dilagukan, apa tujuannya; kesemuanya juga memiliki nilai sejarah. Berkaitan dengan lagu daerah yang ada di daerah Anda, dapatkah Anda menyanyikannya? Bagaimana sejarahnya?

6. Mitologi

Jejak Sejarah dalam Mitologi, Legenda, Dongeng, Folklor, Upacara dan Lagu Di Berbagai Daerah

Mite atau mitologi adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar benar terjadi dan dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite selalu ditokohi oleh dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain.

Mite umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, gejala alam, kisah percintaan, hubungan kekerabatan dan sebagainya. Contoh: Dewi Sri (Dewi Padi), Nyai Roro Kidul (Ratu Laut Selatan), Joko Tarub, Dewi Nawangwulan dan sebagainya.

Kesimpulan :

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa folklore, mitologi, legenda, upacara, dan lagu dari berbagai daerah di Indonesia memiliki nilai sejarah. Semuanya itu memberikan sumbangan bagi penulisan sejarah daerah. Satu hal yang perlu dicermati bila hal itu dijadikan sumber dalam penulisan sejarah, maka perlu adanya kritik sumber sehingga nilai keilmiahan sejarah dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini dibutuhkan kecermatan dan ketajamand alam menghasilkan interpretasi.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Bangsa Secara Politis, Sosiologis dan Antropologis Serta Contohnya

3 Sifat Negara (Memaksa, Monopoli & Mencangkup Semua) Pengertian dan Contohnya Lengkap